.alert { background: #01DF01; text-align: left; padding: 5px 5px 5px 5px; border-top: 1px dotted #223344;border-bottom: 1px dotted #223344;border-left: 1px dotted #223344;border-right: 1px dotted #223344;}

music

musik
Get Free Music at www.divine-music.info
Get Free Music at www.divine-music.info

Free Music at divine-music.info
Read more: http://impoint.blogspot.com/2013/02/menambahkan-memasang-widget-musik-mp3-di-blog.html#ixzz2USMhKFj5 Dilarang copy paste artikel tanpa menggunakan sumber link - DMCA Protected Follow us: @ravdania on Twitter | pemakan.worell on Facebook

Jumat, 15 Mei 2009

TOKOH Martin Heidegger

TOKOH Martin Heidegger

1. Latar Belakang Sosial Pribadi Martin Heidegger

Biografi teoritisi Martin Heidegger lahir di Messkirch pada 26 September 1889. Ia adalah seorang filsuf asal Jerman. Martin belajar di Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, sang penggagas fenomenologi. Martin kemudian menjadi profesor di sana pada 1928. Ia mempengaruhi banyak filsuf lainnya. Murid-muridnya termasuk Hans-Georg Gadamer, Hans Jonas, Emmanuel Levinas, Hannah Arendt, Leo Strauss, Xavier Zubiri, dan Karl Lowith. Selain hubungannya dengan fenomenologi, Heidegger dianggap mempunyai pengaruh yang besar terhadap eksistensialisme, dekonstruksi, hermeneutika dan pascamodernisme. Ia berusaha mengalihkan filsafat Barat dari pertanyaan-pertanyaan metafisis dan epistemologis ke arah pertanyaan-pertanyaan ontologisme. Artinya, pertanyaan-pertanyaan menyangkut makna keberadaan, atau apa artinya bagi manusia untuk berada. Heidegger juga merupakan anggota akademik penting dari Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei. Martin meninggal pada 26 Mei 1976 di usia 87 tahun.

"A boundary is not that at which something stops but, as the Greeks recognized, the boundary is that from which something begins its presencing" (Martin Heidegger).

Dalam surat pembaca The New York Review of Books untuk menanggapi tulisan Ryan yang mengkritik buku Ettinger, Kohler menceritakan hal ini. Ia menyebut telah berkirim surat kepada Hermann Heidegger-putra Martin Heidegger yang menjadi eksekutor arsip di Marbach-untuk mendiskusikan penggunaan surat tersebut guna keperluan riset serius. Dalam jawabannya, Hermann mengatakan belum akan membuka akses ke arsip sepanjang ibunya masih hidup (ibunya baru meninggal tahun 1992). Kohler membujuk agar akses dibukakan untuk peneliti serius. Hermann akhirnya setuju, tetapi dengan catatan: surat ayahnya hanya yang tertentu saja yang boleh dibaca. Alasannya, keseluruhan arsip korespondensi itu baru akan dibuka setelah penerbitan kitab kumpulan tulisan ayahnya masuk ke jilid IV.

Jika hermeunitik romantis (shleiermcher) dan Dilthey) dan hermeunitik fenomenologis (russerl) mengambil begitusaja apa yang diandaikan sebagai subjek Cartasian. Hermeunitik berdiri sebaliknya. gagasan Heidegger dibangun untuk dan menyatakan membantu memunculkan sebuah filsafat baru tentang subjek. Pembelahan subjek-subjek yang digagas Descartes dan masih berdiri tegar hingga masa Husserl dicoba robohkan Heidegger, seperti dituliskan Christoper Mac Ann (1994 )berikut ini.

“ menurut prosedur Husserlian yang berpindah dari dunia prilaku alam menuju suatu taraf transedental yang lebih tinggi dengan satu pandangan untuk menjelaskan struktur-struktur trasidental yang terbangun dari objektifitas berbagai entilitas yang bertemu dalam prilaku alam, kita menemukan sebuah prosedur alternative yang ber[indah dari level ontikturut menuju sebuah taraf ontologism yang lebih dalam dengan satu pandangan demi menjelaskan struktur-struktur ontologism yang terbangun dari mengadakan berbagai entitas yang menjadi persoalan”

Bagan Hermeunitik Dialiktis Martin Heidegger




Bagan ini mengintrodusir gagasan heidegger bahwa penafsiran tidak pernah menjadi sebuah aktivitas yang terisolasi dari konteks, melainkan sebuah pengalaman, bahwa, kita kita selalu mengunakan sesuatu sebagai sesuatu” (TM 58)

2. Nama Teorinya, termasuk proposisi yang ditawarkan

Teori Hermeneutik adalah suatu disiplin ilmu yang berkaitan dengan penafsiran, interpretasi, dan pemahaman teks. Dia menyebutnya metafisik (Metaphysics: the branch of philosophy that deals with the first principles of things, including abstract concepts such as being, knowing, substance, cause, identity, time, and space: abstract theory or talk with no basis in reality : his concept of society as an organic entity is, for market liberals, simply metaphysics.) (www.google.com) kata tersebut bukan karangan dia, tapi dia mengambil kembali istilah ini dari arti sebenarnya dan memberikannya sebuah arti sebagai suatu alat untuk mendefinisikan cara berpikir di dunia barat, dan cara berpikir sperti ini disebut filosofi (Philosophy). Heidegger juga memberikan arti baru pada kata ini yang diambil dari arti sebenarnya dan maksudnya adalah dari pendahulu-pendahulunya, yaitu Yunani Kuno.

Istilah hermeneutik mencakup dua hal, yaitu seni dan teori tentang pemahaman dan penafsiran terhadap simbol-simbol baik yang kebahasaan maupun yang non-kebahasaan. Pada awalnya hermeneutik digunakan untuk menafsirkan karya-karya sastra lama dan kitab suci, akan tetapi dengan kemunculan aliran romantisme dan idealisme di Jerman, status hermeneutik berubah. Hermeneutik tidak lagi dipandang hanya sebagai sebuah alat bantu untuk bidang pengetahuan lain, tetapi menjadi lebih bersifat filosofis yang memungkinkan adanya komunikasi simbolik. Pergeseran status ini diawali oleh pandangan Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey. Sekarang, hermeneutik tidak lagi hanya berkisar tentang komunikasi simbolik, tetapi bahkan memiliki area kerja yang lebih mendasar, yaitu kehidupan manusia dan keberadaannya.

"Para ilmuan dalam mendefinisikan hermeneutik, mempunyai definisi yang berbeda-beda. Dan kita tidak dapat menemukan satu definisi yang menyeluruh yang mewakili definisi-defini mereka serta bersifat meliputi.Namun kita dapat mengambil suatu definisi yang memiliki kedekatan dan kesamaan di antara definisi-definisi yang ada: Hermeneutik adalah ilmu yang berhubungan dengan penjelasan kebagaimanaan dan keharmonian pamahaman manusia, apakah itu berhubungan dengan batas pemahaman terhadap teks tertulis, ataukah secara mutlak aktivitas-aktivitas kehendak dan pilihan manusia atau mutlak realitas-realitas eksistensi." (Sumber Ruhullah Syams :2007

Akar kata "hermeneutik" dalam fi'il Yunani "hermeneuein" bermakna menakwilkan (menafsirkan) dan dalam bentuk nomina "hermeneid" bermaka takwil (tafsir). Dalam karya Aristoteles dijumpai kata peri hermeneids yang menyangkut pembahasan proposisi-proposisi dan kemudian dihubungkan dengan takwil. Kata ini dalam bentuk isim juga dijumpai dalam teodhisi udipus di kulunus dan juga dalam karya-karya Plato. Kedua kata "hermeneuein" dan "hermeneid" ini di nisbahkan pada Tuhan pembawa pesan yunani bernama "Hermes" dan secara lahiriah kata tersebut diambil darinya, dan mungkin juga sebaliknya.

Nama Hermes berhubungan dengan tugas mengganti apa yang di atas pemahaman manusia ke dalam suatu bentuk di mana fikiran dan akal manusia dapat memahaminya. Orang-orang Yunani menghubungkan penemuan bahasa dan tulisan pada Hermes, yakni dua hal tersebut (bahasa dan tulisan) merupakan alat bagi manusia untuk memahami makna-makna dan memindahkan pada orang lain.

Oleh sebab itu, asas dan sumber kata hermeneutik mengandung aktivitas pada pemahaman, secara khusus aktivitas yang merupakan kemestian dari bahasa, sebab itu bahasa adalah perantara semua ukuran aktivitas ini.

Aktivitas perantara dan pemahaman "pesan" atau "berita" sudah mencitrakan nama Hermes, dan ini mempunya tiga aspek penting:

1. Menjelaskan kalimat-kalimat dengan suara keras yakni berkata atau berucap.

2. Menjelaskan dan menguraikan agar dapat terpahami dan disertai dengan argumen-argumen.

3. Menjelaskan seperti penerjemahan dari bahasa asing.

Ketiga aspek di atas bisa diartikan dalam bahasa inggris dengan fi'il "to interpret". Oleh karena itu, kata hermeneutic atau takwil mempunyai tiga aspek yang berbeda:

-Berkata

-Menjelaskan agar dapat dipahami

-Menerjemahkan

Dan ketiga tugas di atas oleh orang-orang Yunani dihubungkan dengan Hermes.

"Berkata lebih kuat daripada tulisan, sebab di dalam berkata terdapat kekuatan hidup makna-makna, yang dalam tulisan kekuatan tersebut bisa menjadi hilang."

Definisi Hermeneutik

Para ilmuan dalam mendefinisikan hermeneutik, mempunyai definisi yang berbeda-beda. Dan kita tidak dapat menemukan satu definisi yang menyeluruh yang mewakili definisi-defini mereka serta bersifat meliputi.

Namun kita dapat mengambil suatu definisi yang memiliki kedekatan dan kesamaan di antara definisi-definisi yang ada: Hermeneutik adalah ilmu yang berhubungan dengan penjelasan kebagaimanaan dan keharmonian pamahaman manusia, apakah itu berhubungan dengan batas pemahaman terhadap teks tertulis, ataukah secara mutlak aktivitas-aktivitas kehendak dan pilihan manusia atau mutlak realitas-realitas eksistensi.

Paul Richor mendefinisikan hermeneutik: "Teori aktivitas pemahaman yang berhubungan dengan interpretasi teks."

· Antony Kerbooy, hermeneutik adalah ilmu atau teori penakwilan.

· Andrew Bovy, hermeneutik adalah keahlian interpretasi.

· Richard Polmer berpendapat bahwa defenisi-defenisi hermeneutik dapat disatukan meskipun memiliki sudut-sudut yang berbeda.

Pandangan ini diutarakannya setelah ia mengungkap enam macam definisi hermeneutik.

Keenam definisi tersebut:

1. Hermeneutik adalah teori penafsiran kitab suci (definisi yang paling tua);

2. Hermeneutik adalah ilmu yang berposisi sebagai metodologi umum bahasa (zaman renaisains);

3. Hermeneutik adalah ilmu setiap bentuk pemahaman bahasa (Schleiermacher);

4. Hermeneutik adalah dasar epistemologi untuk ilmu-ilmu humaniora (Wilhelm Dilthey);

5. Hermeneutik adalah fenomena eksistensi dan fenomena pemahaman eksistensi (Martin Heidegger);

6. Hermeneutik adalah sistem-sistem interpretasi (Paul Richoer).

Dan pada akhirnya Richard Polmer juga mendefinisikan hermeneutik sebagai studi pemahaman dan secara spesifik pemehaman teks.

Hubungan Hermeneutik dengan Ilmu-ilmu Lainnya

1. Hermeneutik dan Epistemologi

Hermeneutik dan epistemologi ditinjau dari dimensi peran yang berhubungan dengan makrifat dan pemahaman manusia, keduanya mempunyai hubungan yang dekat. Tapi kedua ilmu ini juga tidak bisa dikatakan satu, atau salah satu dari keduanya dikembalikan pada lainnya (dasar yang lainnya). Sebab hermeneutik adalah menjelaskan tentang metode mendapatkan pemahaman, syarat-syarat serta kaidah-kaidahnya; sedangkan epistemologi mempunyai permasalahan lain seperti:

a. Apakah pemahaman dan pengetahuan manusia fitri dan apriori, atau hissi (panca indra), empirik dan aposteriori, dan atau kedua-duanya dari itu?

b. Apa ukuran kebenaran dan kesalahan, hakikat dan bukan hakikat?

c. Hubungan apa yang terjadi antara subyek dan obyek?

d. Apa yang menjadi wasilah makrifat manusia? Akal, hissi atau wijdân ( hati nurani) atau semuanya?

Permasalahan-permasalahan di atas tidaklah dibahas dalam hermeneutik. Memang terkadang dalam epistemologi masalah syarat dan penghalang mendapatkan pengetahuan juga dibahas, pembahasan seperti ini juga bisa dikembangkan dalam hermeneutik, sebab itu pada dasarnya pembahasan ini mempunyai warna hermeneutik.

2. Hermeneutik dan Logika

Kedua ilmu ini dari sisi mengajarkan cara berfikir dan memahami adalah satu. Tetapi ilmu logika dengan berdasarkan batasan-batasan yang dimiliki sebagai ilmu alat, merupakan persiapan ilmu, di mana di seluruh metode-metode pemikiran dan ilmiah menjadi tolok ukur. Dan hal ini tidak terlepas (berlaku juga) pada seluruh metode-metode hermeneutik yang beraneka ragam, sebab dalam posisi mengambil konklusi dan berargumen, hermeneutik tidak bisa terlepas dari menggunakan salah satu dari metode-metode ilmu logika, apakah itu hermeneutik yang berdasar (berfokus) penyusun, berdasar teks, atau berdasar penafsir.

Dengan kata lain dalam ilmu hermeneutik terdapat pandangan bahwa suatu teks tertulis, dan tafsiran suatu karya seni, atau bahkan dalam suatu fenomena natural berlaku syarat-syarat atau kaidah-kaidah, dimana hal itu berhubungan dengan pandangan dunia penyusun, dan atau syarat-syarat natural serta sosiologi dimana karya tersebut dihasilkan, dan atau keadaan, ruh serta syarat-syarat pemikiran dan kebudayaan si penafsir. Pengaruh apa yang diberikan (positif atau negatif) terhadap penafsiran dan pemahaman manusia? Tapi adapun bagaimana karya-karya manusia mendapatkan sistem keteraturan dan bagaimana dari mukadimah-mukadimah (premis-premis) dihasilkan konklusi tidaklah dijelaskan dalam ilmu hermeneutik, dan ini merupakan tanggungjawab ilmu logika shuri (formal).

3.Hubungan Hermeneutik dengan Ilmu Bahasa (linguistik)

Dari satu sisi hermeneutik mempunyai hubungan dengan teks, sedangkan di sisi lain keberadaan teks tergantung pada bahasa. Maka, kedua ilmu ini memiliki hubungan yang kuat. Masalah ini juga dalam hermeneutik klasik dan juga dalam hermeneutik modern, lebih khusus pada hermeneutik Gadamer sampai Gadamer memandang bahwa bahasa tidak hanya sebagai wasilah pindahnya pemahaman tetapi juga pemberi keberadaan pemahaman, dengan kata lain dia memandang esensi pemahaman adalah bahasa.

Oleh sebab itu, ilmu hermeneutik dan ilmu bahasa mempunyai hubungan kuat, tetapi tetap keduanya merupakan ilmu yang berbeda sebab masing-masing mempunyai subyek, metode dan tujuan khusus. Pada hakikatnya ilmu hermeneutik mengambil pendapat dari ilmu bahasa, dengan kata lain ilmu bahasa terutama bagian yang membahas penggunaan dan struktur bahasa mempunyai hubungan dengan ilmu hermeneutik sebagaimana hubungan ilmu logika dengan ilmu hermeneutik.

4.Hermeneutik dan Ilmu Tafsir

Tidak diragukan bahwa di dunia Islam pandangan hermeneutik juga mewarnai pikiran-pikiran para ulama Islam. Sebab jika kita melihat bahwa Nabi Saw. beliau juga bertugas dan berperan sebagai penjelas dan penafsir al-Qur'an itu sendiri.

Allamah Thaba-thabai dalam menghubungkan ayat ini:

"Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan dzikr (al-Qur'an) kepadamu, supaya kamu menjelaskan kepada manusia apa yang telah Kami turunkan kepada mereka. Dan semoga mereka menjadi orang-orang yang berpikir" (Q.S: an-Nahl :44)

kepada ayat:"Sebagaimana Kami telah mengutus pada kamu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu dan mensucikan kamu serta mengajarkan kepada kamu kitab dan hikmah"

Berdalil dan berkata : sejarah penafsiran dimulai pada zaman turunnya al-Qur'an.

Jadi sesudah turunnya al-Qur'an, kaum Muslimin dengan seksama memperhatikan pemahaman dan penafsirannya dan para sahabat Nabi Saw. menjadi penafsir dan orang yang mengetahui pada pemahaman dan maksud dari pada al-Qur'an, dimana Imam Ali As. merupakan yang terbaik di antara mereka.

Setelah berlalu zaman dan semakin jauh dari masa turunnya wahyu maka kebutuhan kaum Muslimin terhadap penafsiran, pemahaman dan maksud dari pada al-Qur'an, dirasakan lebih besar lagi. Dan ini menyebabkan perhatian ulama islam terhadap ilmu tafsir semakin tinggi sehingga melahirkan karya-karya tafsir yang banyak di dunia Islam.

Dalam sejarah Ilmu tafsir di dunia Islam terdapat tiga metode tafsir umum:

1. Tafsir al-Qur'an dengan riwayat.

2. Tafsir al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan manusia

3. Tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an sendiri.

Kaidah Hermeneutik

1. Prinsip Makna dalam Teks

Para pemikir Islam (Penafsir, Ahli Fiqh, Teolog) mempunyai keyakinan bahwa ayat-ayat al-Qur'an menunjukkan makna-makna khusus. Makna-makna di mana maksud Allah Swt yang Mahatahu dan Mahabijaksana tertuang dalam bentuk bahasa Arab yang fasih dan baligh (elokuen) dalam ikhtiar manusia untuk memberi hidayah pada manusia. Dan tugas para ilmuan agama serta ahli tafsir adalah menggunakan metode benar dan menjaga kaidah-kaidah serta prinsip-prinsip tertentu untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari makna-makna ayat suci al-Qur'an.

Prinsip tersebut tidak terkhususkan pada al-Qur'an tetapi juga untuk hadits-hadits maksum As dan juga setiap teks yang dipilih oleh setiap penyusun berakal dalam perkataan-perkataan dan tulisan-tulisannya.

Konstruksi kaidah ini berasal dari metode dan cara-cara manusia berakal dimana mereka berkehendak memindahkan hasil pikiran dan konsepsinya, mereka pindahkan dengan jalan bahasa. Pada hakikatnya Sistem percakapan dan pemahaman manusia berdiri atas ini.

Di antara orang-orang berakal baik itu ilmuan maupun masyarakat biasa semuanya menerima asas ini, bahwa sipembicara dalam menjelaskan maksudnya dengan jalan kalimat-kalimat dan ungkapan-ungkapan atau tulisan-tulisan mereka lakukan. Berdasarkan ini maka setiap teks mempunyai makna khusus dimana si penulis menuangkan maksudnya.

Di dunia Barat berlaku juga teori ini pada abad-abad sebelumnya, dan itu tidak hanya berlaku untuk konteks percakapan biasa tapi juga pada pembahasan filsafat dan pembahasan ilmiah. Para ilmuan dan teoritis ilmu hermeneutik seperti Schleier Macher dan Wilhelm Dilthey masih perpijak pada teori ini sampai kemudian muncul fase postmoderisme yang meragukan prinsip dan asas rasional ini. Di antara yang menolak pandangan tersebut datang dari pengikut hermeneutik filsafat Gadamer dan pengikut dekonstruksi Derrida.

Derida melakukan kritik terhadap pandangan bahwa makna dalam perkataan mempunyai kehadiran sedangkan dalam tulisan adalah tersembunyi, tetapi ia juga tidak menerima kebalikan dari itu bahwa tulisan lebih baik dari pada perkataan dan makna hadir di dalamnya. Dia berpendapat bentuk keyakinan ini adalah fokus penulis namanya, dan ia berkeyakinan dalam teks tulisan makna juga adalah gaib. Darida tidak menerima "pemahaman makna akhir teks", sebab dalam pembacaan akan tecipta makna-makna yang tidak terhitung jumlahnya. Darida tidak bermaksud meruntuhkan teks, tetapi ia meruntuhkan dalil-dalil makna teks. Menurut pandangannya makna bukanlah suatu perkara yang tetap dan dahulu atas petunjuk atau tujuan, tetapi makna bahkan bergantung pada petunjuk yang secara esensial adalah tidak tetap dan tidak permanen. Dalam dekonstruksi dengan mengacak hubungan kata satu sama lain, dan dengan mendekonstruksi teks, memungkinkan perluasan nisbah makna-makna dan petunjuk-petujuk yang bermacam-macam, dan pada akhirnya tidak menerima adanya satu dalil dan makna khusus sebagai wajah akhir teks dan sebagai petunjuk akhir teks.

Dalam hermeneutik filsafat Gadamer, juga berpandangan kalau makna teks bukanlah sesuatu yang menjadi maksud penyusun, tetapi hasil persinggungan antara horizon makna penyusun dan horizon penafsir teks. Dan dalam hal ini asumsi-asumsi penafsir mempunyai dampak kunci, dan secara otomatis mengingkari makna sentral dan makna akhir teks. Gadamer juga tidak meyakini realitas makna dalm teks, tetapi ia berpandangan bahwa makna teks adalah menifestasi yang dihasilkan oleh pembaca atau si penafsir teks. Dan penampakan ini juga lebih dari segala sesuatunya yang mengikut pada alam rasional dan ruh si penafsir teks, hatta penyusun teks itu sendiri.

Dalam hermeneutik Gadamer titik penting bukan hasrat atau meksud penyusun dan bukan karya atau teks sebagai sesuatu fi nafsihi di luar dari sejarah, tetapi yang urgen adalah sesuatu yang menjadi arah berulang-ulang sejarah dalam memanifestasi. Menurut Gadamer dzihniyyat (alam pikiran) penyusun atau pembaca tidak ada satu pun menjadi rujukan realitas, tetapi makna sejarah itu sendiri dimana pengaruhnya dalam zaman sekarang untuk kita, yang menjadi rujukan realitas.

2. Penyusun sebagai Sentral dalam Tafsir (sentralisasi penyusun).

Untuk memahami makna teks yang menjadi perhatian dari si penyusun maka si pembaca berusaha memahami dan memahamkan hasrat dan maksud si penulis atau si penyusun. Kaidah hermeneutik ini berlaku secara mapan sebelumnya, yakni teks secara realitas dan nafsul amr menerangkan makna khusus yang meupakan niat , tujuan dan hasrat si penyusun, dan kaidah ini berhubungan dengan maqam penerapan dan pemahaman, yakni pemahaman fokus makna dalam teks harus memperhatikan maksud dan niat penyusun. Di sini pengikut hermeneutik filsafat juga melakukan penentangan, dari sudut pandang mereka pemahaman teks mengenyampingkan niat dan maksud penyusun atau dihasilkan dengan memadukan horizon makna penyusun dan pembaca teks.

Emilio Betty (Italia) dalam hal ini mengembalikan pada pandangan hermeneutik realistis. Sementara Eric (Amerika) pewaris pandangan Betty mengembalikan pada pandangan hermeneutik klasik, dan berkata: Jika makna tidak tetap dan permanen maka tidak akan ada realitas penafsiran.

Dalam hermeneutik fokus penyusun terdapat dua pandangan:

1. Pandangan fokus niat penyusun.

2. Pandangan fokus pribadi penyusun (penyusun secara kepribadian)

Yang pertama penafsir berusaha mendapatkan maksud dan niat penyusun dari karya dan ucapan ia dan jalan untuk memperoleh itu menjaga dan memelihara kaidah nahwu dan bahasa (Martin Kladinius). Yang kedua penafsir harus berusaha dengan jalan mengenal pribadi penyusun, sehingga mendapat makna yang menjadi perhatian ia (Schleier Macher). Yang pertama tidak bisa mengetahui teks lebih baik dari pada penyusun, maksimalnya menyamai penyusun dalam pemahaman sedangkan yang kedua memungkinkan mengetahui teks lebih baik dari pada penyusun.
Menurut Friedrich Schleiermacher, terdapat dua tugas hermeneutik yang pada hakikatnya identik satu sama lain, yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Aspek gramatikal interpretasi merupakan syarat berpikir setiap orang, sedangkan aspek psikologis interpretasi memungkinkan seseorang memahami pribadi penulis. Oleh karenanya, untuk memahami pernyataan-pernyataan dari pembicara, seseorang harus mampu memahami bahasanya sebaik ia memahami kejiwaannya. Semakin lengkap pemahamam seseorang atas sesuatu bahasa dan latar belakang psikologi pengarang, maka akan semakin lengkap pula interpretasinya terhadap karya pengarang tersebut. Kompetensi linguistik dan kemampuan memahami dari seseorang akan menentukan keberhasilannya dalam bidang seni interpretasi. Namun, pengetahuan yang lengkap tentang kedua hal tersebut kiranya tidak mungkin, sebab tidak ada hukum-hukum yang dapat mengatur bagaimana memenuhi kedua persyaratan tersebut.


3. Pikiran atau teori apa saja yang mempengaruhi ini

Bebrapa Tokoh Hermeneutika

Menurut Palmer (2005), Sumaryono (1999), dan Rahardjo (2007), beberapa tokoh yang mempunyai peran besar dalam perkembangan hermeneutika, yaitu.

pertama Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768 -1834), tokoh hermeneutika roman tisis, ia yang memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar kajian teologi(teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Menurut per -spektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada unsurpenafsir, teks, maksudpengarang, konteks historis, dan konteks kultural.

Kedua, Wilhelm Dilthey (1833 -1911), tokoh hermeneutika metodis, ber -pendapatbahwa proses pemahaman ber -mula dari pengalaman, kemudian men gekspresikan -nya. Pengalaman hidup manusia merupa -kan sebuah neksus struktural yangmempertahankan masa lalu sebagai sebuah kehadiran masa kini.

Ketiga, Edmund Husserl (1889 -1938), tokoh hermeneutika feno -menologis,menyebutkan bahwa proses pemahaman yang benar harus mampu membebaskan diri dari prasangka, dengan membiarkan teks berbicara sendiri. Oleh sebab itu, menafsirkan sebuah teks berarti secara metodologis mengisolasikan teks dari semua hal yang tidak ada hubungannya, termasuk bias -bias subjek penafs ir dan

membiarkannya mengomunikasikan maknanya sendiri pada subjek.

Keempat, Martin Heidegger (1889 -1976), tokoh hermeneutika dialektis, menjelaskan tentang pemahaman sebagai sesuatu yang muncul dan sudah ada mendahului kognisi. Oleh sebab itu, pembacaan atau penafsiran selalu me –rupakan pembacaan ulang atau penafsiran ulang.

Kelima, Hans -Georg Gadamer (1900 -2002), tokoh hermeneutika dialogis, bagi - nya pemahaman yang benar adalah pema -haman yang mengarah pada tingkat onto - logis, bukan metodologis. Artinya , kebenar -an dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengaju -kan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog.

Keenam, Jurgen Habermas (1929), tokoh hermeneutika kritis, menye butkan bahwa pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horison pemahaman adalah kepentingan sosial yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, s uku, dan gender.

Ketujuh Paul Ricoeur (1913) yang membedakan interpretasi teks tertulis dan percakapan. Makna tidak hanya diambil menurut pandangan hidup pengarang, tetapi juga menurut pengertian pandangan hidup dari pembacanya.

Kedelapan, Jacques Derrid a (1930), tokoh hermenutika dekonstruksionis, mengingatkan bahwa setiap upaya menemukan makna selalu menyelipkan tuntutan bagi upaya membangun relasi sederhana antara petanda dan penanda. Makna teks selalu mengalami perubahan tergantung konteks dan pembacanya.

Selain itu juga ada beberapa tokoh yang mempengaruhi menculnya teori hermeunitik seperti:

a. Santa Augustine (AD 430-454) ialah seorang filosof dan teolog yang banyak mempengaruhi hermeneutik modern. Makalah Augustine, On Christian Doctrine, yang menurut Jean Grondin, dari sisi historis, merupakan karya yang sangat berpengaruh dalam hermeneutik.Ia menitikberatkan penelitian hermeneutik itu pada dimensi-dimensi yang kabur dari Kitab Suci dan beranggapan bahwa Kitab Suci itu bisa dipahami. Kebutuhan terhadap hermeneutik hanya pada wilayah-wilayah yang tak jelas dimana memerlukan penafsiran dan pemahaman. Idenya ini melandasi perumusan kaidah-kaidah hermeneutik. Augustine tidak mencukupkan pemahaman Kitab Suci hanya pada kaidah-kaidah tafsir, sesungguhya harus "datang" dari sisi Tuhan suatu "cahaya" yang dengannya segala bentuk kekaburan dan ketakjelasan yang ada pada Kitab Suci menjadi sirna, dengan demikian, segala sesuatunya berpijak pada kondisi jiwa seorang mufassir. Poin terakhir ini menjadi perhatian dan sumber ilham bagi kehadiran hermeneutik filosofis, yakni untuk sampai pada pemahaman itu, selain konsentrasi pada teks, juga sangat dipengaruhi oleh kondisi jiwa dan pikiran penafsir. Menurutnya, ketiadaan pemisahan yang jelas antara makna hakiki dengan majasi adalah penyebab utama kekaburan Kitab Suci, pemilahan ini bisa tercapai dengan pencerahan Ilahi dan penjelasan makna yang kabur dengan berpijak pada makna-makna yang sudah jelas dan gamblang. Para mufassir mesti sedemikian rupa berupaya mengenal Kitab Suci sehingga bisa memahami dengan benar aspek-aspek yang kabur dengan bantuan dimensi-dimensi yang nyata dan jelas. Konsepnya ini juga sebagai poin mendasar dalam wilayah penafsiran teks. Disamping itu, ia juga menekankan bahwa ketika kita mendengar sebuah kalimat, kita tak lagi mencermati kata-kata itu sendiri yang ada pada kalimat, melainkan berupaya memahami "sesuatu" yang tidak dapat didengar oleh telinga dan lebih tinggi dari bahasa lahiriah. Ia menamai "sesuatu" itu sebagai "kata internal (verbum)" atau "reason" yang berada tersembunyi dibalik kalimat dan bahasa lahiriah. Reason (akal-pikiran) ini tidak bisa diungkapkan secara nyata sehingga mampu ditangkap dengan indera lahiriah.

b. Friedrich Nietzsche (1844-1900 M), filosof Jerman, yang dalam karya-karyanya juga ditemukan sisi pemikiran hermeneutik. Salah satu pemikirannya yang terpenting adalah beranggapan bahwa semua pengetahuan manusia bersifat interpretatif. Nietzsche memandang bahwa segala hakikat dan realitas murni tidak bisa dipahami, namun apa-apa yang kita sebut sebagai "pemahaman" itu tidak lain ialah mitos dan fiksi yang bersumber dari penafsiran-penafsiran dan takwil-takwil kita. Penafsiran dan takwil ini berasal dari perspektif-perspektif, dan segala perspektif sangat dipengaruhi oleh kecenderungan alami manusia. Begitu pula kategori-kategori akal yang terbentuk dari kekuatan imajinasi juga tidak lepas dari kenyataan tersebut, yakni juga bersifat mitologikal dan semata-mata merupakan perspektif logikal yang kemudian menjelma sebagai hakikat-hakikat yang niscaya dan pasti.Gagasan tentang keinterpretasian pengetahuan dan pemahaman merupakan hal yang sangat ditekankan oleh hermeneutik filsafat, dan Heidegger, dalam salah satu karyanya, menunjukkan bahwa pemahaman kita terhadap segala sesuatu, bahkan terhadap diri sendiri, senantiasa bersifat hermeneutikal. Pengertian dia atas "pemahaman hermeneutikal" adalah berpijak pada latar belakang penginderaan dan kerangka berpikir, dimana realitas ini banyak semakna dengan gagasan Nietzsche tentang efek perspektif terhadap pengetahuan dan pemahaman. Pemikiran lain Nietzsche yang bersifat hermeneutikal adalah seputar masalah "hakikat". Konklusi dari pemikiran yang menyatakan bahwa "segala pemahaman itu bersifat interpretatif" adalah kemustahilan kita menjangkau hakikat (yang bermakna pengetahuan objektif) itu, melainkan pemahaman kita itu tidak lain adalah fiksi dan mitos yang bersumber dari perspektif dimana sebagian dari fiksi itu lebih bermanfaat dari yang lain. Manfaat fiksi ini, kalau bersifat tetap dan konstan, maka kita menyebutnya dengan "hakikat" yang mesti diterima dengan tanpa alasan dan sebab. Begitu banyak manusia menginginkan suatu ilmu dan pengetahuan yang bersumber dari proposisi-proposisi yang tetap dan konstan. Dengan dasar ini, m ereka tidak lagi memperhatikan bahwa sesungguhnya realitas-realitas itu senantiasa berubah. Rahasia kecenderungan kepada ilmu ini merupakan fitrah manusia. Iradah manusia yang seiring dengan kodratnya dan kecenderungannya kepada sesuatu yang bersifat konstan dan tetap kemudian memaksanya untuk mencipta suatu ilmu alat demi menjelmakan kodratnya itu dan tidak memandang realitas eksternal dan hakikat manusia sebagaimana adanya serta menetapkan segala konsep dan perspektifnya sebagai suatu "hakikat" yang tetap dan diterima tanpa alasan. Dalam hermeneutik filosofis kontemporer, "hakikat" atau kebenaran (truth) juga dimakna sama sebagaimana umumnya, karena di sini ditekankan bahwa para mufassir tidak mungkin bersifat netral dalam pemahamannya. Baik dalam penafsirannya tentang teks, kesusastraan, dan analisis fenomena sejarah pengaruh latar belakang pikiran dan makna-makna horizontal serta asumsi-asumsi para mufassir tidak bisa dipungkiri. Adalah suatu asa yang sis-sia kalau mengharap adanya objektivitas fenomena atau teks tanpa keterlibatan subjektivitas pikiran mufassir.

c. Dalam karya-karya seperti Ludwig Josef Johann Wittgenstein (1889-1951 M) dan Edmund Husserl (1859-1938 M) juga terdapat pembahasan yang berrhubungan dengan hermeneutikal. Heidegger mencerap fenomenologi sebagai suatu metode itu dari gurunya, Edmund Husserl. Heidegger beranggapan bahwa penyingkapan makna dan hakikat eksistensi itu hanya melalui fenomenologi dasein dan analisis wujud manusia. Metode analisis ini, bukan bersifat argumentatif dan demonstratif silogisme, karena demonstratif silogisme itu berupaya menarik konklusi dari perkara yang lain, sementara tidak ada sesuatu yang lain selain wujud dan eksistensi itu sendiri. Dengan demikian, jalan pengenalan satu-satunya adalah analisis wujud manusia dan fenomenologi eksistensial. Hakikat wujud itu tidak bisa ternampakkan, oleh karena itu, dengan kita memahami konsep wujud dan melihat penampakan maujud tak seketika mengetahui hakikatnya. Namun, penerimaan yang sama atas fenomenologi yang nampak pada kedua pemikir tersebut, Husserl dan Heidegger, tidak berujung pada kesamaan pandangan. Dengan metode itu, Husserl berupaya supaya filsafat itu berdiri tegak di atas keyakinan-keyakinan – seperti Descartes – dan filsafat itu diupayakan setara dengan ilmu. Sementara Heidegger mengejar tujuan lain, yakni mencari jawaban atas makna dan hakikat eksistensi. Dengan dasar ini, Heidegger tetap pada tingkatan kajian prinsipalitas eksistensi manusia dan tidak bisa disetarakan dengan derajat pembahasan metafisika. Dengan penguraian ini, jelaslah bahwa pengkajian hermeneutik tidaklah terbatas pada karya-karya resmi tentang hermeneutik dan begitu banyak pembahasan yang menunjukkan kesesuaiannya dengan hermeneutikal. Dengan berpijak pada realitas ini, tertegaslah keberadaan "hermeneutik tanpa nama" tersebut.

d. Refleksi Hermeneutik dalam Pemikiran Religius Pemikiran keagamaan kontemporer ialah kenyataan atas bentuk pengkajian baru yang mempunyai akar dalam hermeneutik. Probabilitas pelontaran interpretasi yang beragam dan tak berhingga terhadap teks-teks agama, penafsiran yang bersifat historikal, perubahan interpretasi yang terus menerus, adanya keabsahan intervensi pikiran para mufassir dalam penafsiran teks-teks, dan pengaruh ilmu-ilmu lain terhadap pemahaman keagamaan adalah dimensi-dimensi baru yang hadir dalam wilayah dan ranah pembahasan keagamaan yang mempunyai akar mendalam pada teori-teori pemikiran hermeneutikal.

Hermeneutik kontemporer dari dua sisi memberikan pengaruh terhadap pemikiran-pemikiran keagamaan:

a. Sebagian dari pembahasan hermeneutikal sangat berhubungan erat dengan pemikiran filosofis tentang pemahaman dan pengetahuan secara umum. Pemikiran tentang substansi pemahaman dan syarat-syarat eksistensial kehadirannya serta karakteristik-karakteristiknya yang prinsipil, akan berkonsekuensi pada kehadiran suatu hukum dan kaidah umum tentang pemahaman dimana juga meliputi makrifat keagamaan, pemahaman, dan penafsiran teks-teks suci keagamaan, dengan demikian, akan mewujudkan suatu pertalian yang sangat erat dan mendalam antara kajian-kajian hermeneutikal dan segala pengetahuan keagamaan.

b. Islam, Kristen, dan Yahudi adalah agama-agama yang berpijak pada wahyu dan kalam Ilahi. Realitas ini akan menyebabkan agama-agama tersebut akan menerima pengaruh dalam aspek-aspek beragam dari teks-teks keagamaan, interpretasi, dan pemahaman-pemahamannya. Ilmu hermeneutik telah melalui proses sejarah yang panjang di dunia Barat, pandangan dan gagasan yang muncul tentangnya bermacam-macam dan terkadang saling bertolak belakang. Di barat, hermeneutik berproses dalam tiga jenjang historis, yaitu: hermeneutik pra klasik, hermeneutik klasik, dan hermeneutik kontemporer. Pada jenjang pertamanya terhitung sejak hadirnya gerakan reformasi agama hingga abad kesembilanbelas Masehi dan munculnya pemikir Friedrich D. E. Schleiermacher. Masa kedua dari Schleiermacher hingga Martin Heidegger, dan zaman ketiga adalah pasca Heidegger yang dikenal dengan nama hermeneutik filosofis. Hingga pada zaman Schleiermacher, hermeneutik hanya difungsikan sebagai media untuk interpretasi teks-teks Kitab Suci agama. Ia kemudian meluaskan subjeknya dan merumuskan kaidah-kaidah untuk menafsirkan teks-teks selain agama seperti kesusastraan dan hukum. Setelahnya, ditangan Wilhelm Dilthey, ranah hermeneutik semakin melebar mengkaji segala teks dan pemahaman terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan humaniora (human sciences). Pada akhirnya dengan perantaraan Heidegger, domain hermeneutik menjadi sangat universal yang membahas teks dan non-teks, fenomena-fenomena yang berkaitan dengan prilaku manusia, alam materi, dan metafisika." Namun perlu diperhatikan bahwa keumuman kaidah hermeneutik hingga akhir abad kesembilanbelas adalah bersifat nisbi dan tidak mencakup segala cabang ilmu dan pengetahuan manusia, karena keumuman yang bisa disaksikan dalam karya-karya Schleiermacher dan Chladenius itu hanya terbatas pada penafsiran teks-teks, oleh sebab itulah, kaidah-kaidah dan basis-basis tafisr dalam pandangan mereka ini hanya mencakup ilmu dan pengetahuan manusia yang berkaitan dengan penafsiran teks-teks saja. Begitu pula metodologi yang digagas oleh Dilthey hanya diperuntukkan bagi ilmu-ilmu humaniora. Di abad keduapuluh ini kita menjadi saksi belbagai upaya dan usaha perumusan hermeneutik dalam setiap cabang dan disiplin ilmu seperti dalam bidang linguistik, teologi, dan ilmu-ilmu sosial. Sementara hermeneutik filosofis yang dirumuskan oleh Heidegger dan pemikir-pemikir setelahnya, seperti Gadamer, ialah dengan suatu tujuan umum dan berupaya supaya keumuman yang terdapat dalam hermeneutik filosofis abad keduapuluh ini meliputi semua pengetahuan manusia dan terpisah dari keumuman hermeneutik yang ada sebelumnya. Apa yang hari ini dikenal dengan nama hermeneutik filosofis tidak lain ialah aliran yang didirikan oleh Martin Heidegger dan muridnya, Hans-Georg Gadamer, serta dipopulerkan oleh dua filosof Perancis, Jacques Derrida dan Paul Ricoeur. Namun, keempat tokoh tersebut yang sama-sama penganut hermeneutik filosofis memiliki pandangan yang berbeda dalam penentuan arah dan tujuan hermeneutik

Teori yang mempengaruhi Dalam penggunaan ini, hermeneutic diposisikan sebagai nama dari berbagai kecenderungan-kecenderungan, cabang-cabang, dan aliran-aliran yang beragam yang terdapat dalam ruang lingkup disiplin pemikiran hermeneutik, atau diletakkan sebagai cabang-cabang, kecenderungan-kecenderungan, dan maktab-maktab beragam yang ada dalam koridor pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan dan pengkajian pembahasan hermeneutik. Sebagai contoh kita bisa lihat pada penggabungan semacam "Hermeneutik kitab Suci", "Hermeneutik Linguistik", "Hermeneutik Metodologi ", dan "Hermeneutik Heidegger". Penggunaan kata sifatnya muncul dalam bentuk "hermeneutic" dan "hermenutical", misalnya dikatakan "Hermeneutical Theory", "Hermeneutic Theology", "Hermenutic Event"[8], dan "Hermeneutical Situation".[9] Perlu diketahui bahwa kecermatan dan ketajaman dalam mencari akar kata leksikal dari kata hermeneutik ini tidak akan membantu pengenalan esensi dan keluasan pembahasan hermeneutik kontemporer.

4. Apa saja karya dalam bentuk buku atau jurnal, teorinya ada pada karya yang mana.

Pada tahun 1927, Teori yang dikemukakan dalam karyanya Sein und Zeit dan Einfubrung in die Metaphyisic , dan masih banyak lagi karya nya. Kebanyakan tulisannya membehas masalah seperti ”What in Being”, ”Why in there something ratber than nothing at all” demikian juga judul-judul mengenai Eksistensi manusia, kegelisahaan, keterasingan dan mati. (Zubaid 2007:153), Martin Heidegger memberikan pengertian baru tentang hermeneutik. Menurut Heidegger, hermeneutik bukanlah mengenai pemahaman komunikasi linguistik, juga bukan merupakan basis dari metodologi bagi ilmu-ilmu tentang kehidupan manusia atau geisteswissenschaften, tetapi hermeneutik lebih merupakan ontologi.Heidegger berpendapat bahwa tugas dari filsafat adalah untuk menunjukkan bagaimana subjek dapat secara rasional memberikan aturan-aturan epistemologi di mana sebuah representasi dikatakan sebagai benar atau salah. Dari suatu posisi tertentu, jalan ke konsepsi tentang kebenaran tidaklah jauh dikaitkan dengan metode yang disediakan oleh metode ilmu-ilmu alam. Model yang seperti ini cenderung melupakan aspek yang paling mendasar, aspek pre-scientific keberadaan manusia di dunia. Inilah yang menjadi ruang lingkup kerja hermeneutik menurut Heidegger. Hermeneutik, atau yang oleh Heidegger disebut hermeneutics of facticity, adalah apa yang oleh filsafat dijadikan hal yang paling utama.

Karya utamanya adalah Being and Time (1972) sesuatu dobrakan besar dalam cara berfikir, yang mendapat antusian yang besar dan ketakutan dari orang-orang sejamannya, banyak dari orang sadar keluasan dari hasil yang dicapai. Lalu di menulis lebih dari 100 buku-buku lainya yang mencakup ribuan artikel-artikel dan esai (tulisan pendek). Karyanya masih belum semuanya dipublikasikan. Dengan kata lain kita belum selesai menemukan heidegger. Buku-buku penting lainnya adalah On the Essence of Truth, Holderlin and the Essence of Poetry, Early Greek Thinking, The Question Concerning Technology, Letter on Humanism, On the Way to Language, dan banyak lainnya yang sama menariknya. Penting juga mengetahui apa yang bukan heidegger. Dia bukan existentsialist, karena heidegger lebih jauh dari itu dan kamu tidak bisa meletakan dia sama dengan katergori seperti Sartre. Dia bukan phenomenologist, karena walaupun dia belajar dari Husserl, dia lebih dalam lagi dari gurunya.

Ketika sebuah teks dibaca seseorang, di -sadari atau tidak akan memunculkan in - terpretasi terhadap teks tersebut. Mem -bicarakan teks tidak pernah terlepas dari unsur bahasa, Heidegger menyebutkan b ahasa adalah dimensi kehidupan yang bergerak yang memungkinkan ter -ciptanya dunia sejak awal, bahasa mempunyai eksistensi sendiri yang di dalamnya manusia turut berpartisipasi (Eagleton, 2006:88). Sebagai metode tafsir, hermeneutika menjadikan bahasa seba gai tema sentral, kendati di kalangan para filsuf hermenutika sendiri terdapat perbedaan dalam meman-dang hakikat dan fungsi bahasa. Perkembangan aliran filsafat hermenutikamencapai puncaknya ketika muncul dua aliran pemikiran yang berlawanan, yaitu aliran Intensionalisme dan aliran Hermeneutika Gadamerian. Intensionalisme memandang makna sudah ada karena dibawa pengarang/penyusun teks sehingga tinggal menunggu interpretasi penafsir. Sementara Hermeneutika Gada -merian sebaliknya memandang makna dicari, dikonstruksi, dan direkonstruksi oleh penafsir sesuai konteks penafsir dibuat sehingga makna teks tidak pernah baku, ia senantiasa berubah tergantung dengan bagaimana, kapan, dan siapa pembacanya (Rahardjo, 2007:55). Peristiwa pemahaman terjadi ketika cakraw ala makna historis dan asumsi kita berpadu dengan cakrawala tempat karya itu berada. Hermeneutika melihat sejarah sebagai dialog hidup antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Metode hermeneutik mencoba menyesuaikan setiap elemen dalam setiap teks menjadi satu keseluruhan yang lengkap, dalam sebuah proses yang biasa dikenal sebagai lingkaran hermeneutik. Ciri -ciri individual dapat dimengerti berdasarkan keseluruhan konteks, dan keseluruhan konteks dapat dimengerti melalui ciri –ciri individual (Eagleton , 2006:104-105). Kunci pemahaman adalah pertisipasi dan keterbukaan, bukan manipulasi dan pengendalian. Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika tidak hanya memandang teks, tetapi juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Hermeneutika ber usaha menggali mak -na dengan mempertimbangkan horison - horison (cakrawala) yang melingkupi teks tersebut. Horison yang dimaksud adalah horison teks, pengarang, dan pembaca. Dengan memperhatikan ketiga horisontersebut diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekon-struksi dan reproduksi makna teks, yang selain melacak bagaimana suatu teks di-munculkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks, juga berusaha melahirkan kembali makna sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks dibaca atau dipahami. Dengan kata lain, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen

pokok dalam upaya penafsiran yaitu teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi. (Rahardjo, 2007:90 -91).

A complete list of English translations of Heidegger's work is available here.

Year

Original German

English Translation

1927

Sein und Zeit, Gesamtausgabe Volume 2

Being and Time, trans. by John Macquarrie and Edward Robinson (London: SCM Press, 1962); re-translated by Joan Stambaugh (Albany: State University of New York Press, 1996)

1929

Kant und das Problem der Metaphysik, Gesamtausgabe Volume 3

Kant and the Problem of Metaphysics, trans. by Richard Taft (Bloomington: Indiana University Press, 1990)

1935

Einführung in die Metaphysik (1935, published 1953), Gesamtausgabe Volume 40

An Introduction to Metaphysics, trans. by Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000)

1936–8

Beiträge zur Philosophie (Vom Ereignis) (1936–1938, published 1989), Gesamtausgabe Volume 65

Contributions to Philosophy (From Enowning), trans. by Parvis Emad and Kenneth Maly (Bloomington: Indiana University Press, 1999)

1942

Hölderlins Hymne »Der Ister« (1942, published 1984), Gesamtausgabe Volume 53

Hölderlin's Hymn "The Ister", trans. by William McNeill and Julia Davis (Bloomington: Indiana University Press, 1996)

1949

"Die Frage nach der Technik," in Gesamtausgabe Volume 7

"The Question Concerning Technology" [1], in Heidegger, Martin, Basic Writings: Second Edition, Revised and Expanded, ed. David Farrell Krell (New York: Harper Collins, 1993)

1950

Holzwege, Gesamtausgabe Volume 5. This collection includes "Der Ursprung der Kunstwerkes" (1935–1936)

Off the Beaten Track. This collection includes "The Origin of the Work of Art"

1955–56

Der Satz vom Grund, Gesamtausgabe Volume 10

The Principle of Reason, trans. Reginald Lilly (Bloomington, Indiana University Press, 1991)

1955–57

Identität und Differenz, Gesamtausgabe Volume 11

Identity and Difference, trans. by Joan Stambaugh (New York: Harper & Row, 1969)

1959

Gelassenheit, in Gesamtausgabe Volume 16

Discourse On Thinking

1959

Unterwegs zur Sprache, Gesamtausgabe Volume 12

On the Way To Language, published without the essay "Die Sprache" ("Language") by arrangement with Heidegger

Sumber www.google.com

5. Apakah teorinya menjelaskan relaitas objektif tau subjektif, jelaskan buktinya?

a. Jenis Realitas.

Jenis Realitas yang dikaji dalam teori Hermeunitik Martin Heidegger termasuk dalam realitas objektif. Teorinya menjelaskan realitas objektif Oleh karenanya, untuk memahami pernyataan-pernyataan dari pembicara, seseorang harus mampu memahami bahasanya sebaik ia memahami kejiwaannya. Semakin lengkap pemahamam seseorang atas sesuatu bahasa dan latar belakang psikologi pengarang, maka akan semakin lengkap pula interpretasinya terhadap karya pengarang tersebut. Kompetensi linguistik dan kemampuan memahami dari seseorang akan menentukan keberhasilannya dalam bidang seni interpretasi. Namun, pengetahuan yang lengkap tentang kedua hal tersebut kiranya tidak mungkin, sebab tidak ada hukum-hukum yang dapat mengatur bagaimana memenuhi kedua persyaratan tersebut.
Schleiermacher menawarkan sebuah rumusan positif dalam bidang seni interpretasi, yaitu rekonstruksi historis, objektif dan subjektif terhadap pernyataan. Melalui rekonstruksi objektif-historis, ia bermaksud membahas sebuah pernyataan dalam hubungannya dengan bahasa sebagai keseluruhan. Melalui rekonstruksi subjektif-historis, ia bermaksud membahas awal mula sebuah pernyataan masuk ke dalam pikiran seseorang. Schleiermacher sendiri menyatakan bahwa tugas hermeneutik adalah memahami teks sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri. Jika diterapkan dalam bidang sains, sebagai contoh, untuk memahami teori relativitas Einstein, maka sebaiknya kita juga berusaha mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi pemikiran Einstein tersebut.

Schleiermacher menegaskan adanya masalah hermeneutical circle atau lingkaran hermeneutik, yaitu bahwa untuk memahami sebagian dari teks pembaca memerlukan pemahaman atas konteks keseluruhan teks, dan untuk memahami keseluruhan teks pembaca memerlukan interpretasi atas bagian-bagian dari teks tersebut. Dengan demikian, untuk dapat memahami suatu teks pembaca memerlukan pemahaman akan sumber-sumber lain untuk membantu pemahamannya, termasuk pemahaman akan kehidupan dan minat penulis. Hal ini juga memerlukan pemahaman akan konteks budaya di mana karya penulis tersebut muncul.

Menurut Blumer proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian, proses self-indication ini terjadi dalam konteks sosial di mana individu mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia memaknakan tindakan itu. Lebih jauh Blumer dalam buku yang sama di halaman 78 menyatakan bahwa interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, dan oleh kepastian makna dari tindakan orang lain, bukan hanya sekedar saling bereaksi sebagaimana model stimulus-respons.
Selain menggunakan Interaksionis Simbolik, kasus Sampit bisa didekati dengan metode Hermeneutik. Hermeneutik dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau falsafah yang menginterpretasi makna. Pada dasawarsa ini, Hermeneutik muncul sebagai topik utama dalam falsafah ilmu sosial, seni dan bahasa dan dalam wacana kritikan sastera yang mempamerkan hasil interpretasi teks sastera.
Perkataan Hermeneutik berasal dari dua perkataan Greek: hermeneuein, dalam bentuk kata kerja bermakna ”to interpret” dan hermeneia, dalam bentuk kata nama bermakna ”interpretation”. Kaedah ini mengutamakan penginterpretasian teks dalam konteks sosiobudaya dan sejarah dengan mendedahkan makna yang tersirat dalam sesebuah teks atau karya yang diselidiki. Dokumen awal menjelaskan bahawa seorang ahli falsafah, iaitu Martin Heidegger menggunakan kaedah Hermeneutik pada tahun 1889-1976. Walau bagaimanapun, Hermeneutik telah mula dipelopori oleh Schleimarcher dan Dilthey sejak abad ke-17 dan diteruskan oleh Habermas, Gadamer, Heidegger, Ricoeur dan lain-lain pada abad ke-20. Menurut Mueller (1997), Hermeneutik adalah seni pemahaman dan bukan sebagai bahan yang telahpun difahami. Hermeneutik juga adalah sebahagian daripada seni pemikiran dan berlatarkan falsafah. Oleh itu, untuk melakukan penginterpretasian terhadap ilmu pengetahuan tentang bahasa, maka adalah penting untuk memahami ilmu pengetahuan individu. Tetapi, pada hakikatnya adalah mustahil untuk menganalisis aspek-aspek psikologi seseorang itu. Kejayaan seni penginterpretasian bergantung kepada kepakaran linguistik dan kebolehan memahami subjek yang dikajinya. Bisa dibaca lebih jelas pada karya Stephen W. Littlejohn (1995). Theories of Human Communication, 5th Edition. Belmont, Wadsworth Publishing Company. When Mead had to give up his position as a lecturer at the University of Chicago due to illness, Blumer took over and continued his work. In his 1937 article "Social Psychology", Blumer coined the term symbolic interactionism and summarised Mead's ideas into three premises: The way people view objects depends on the meaning these things have for them. This meaning comes about as a result of a process of interaction. The meaning of an object can change over time. Blumer, 1969, Ibid.hal

6. Apakah realitas yang dikaji teori tersebut dalam lingkup realitas mikro atau makro? jelaskan pula alasanya?

Realitas yang dikaji dalam lingkup realitas mikro. Hermeneutik merupakan tradisi berfikir dan kontemplasi filosofis yang mengupayakan penjelasan tentang konsepsi dan ide "pemahaman" (fahm, verstehen, understanding) dan memberikan solusi terhadap persoalan tentang faktor-faktor yang mengakibatkan hadirnya makna bagi segala sesuatu ". Segala sesuatu ini bisa berupa syair, teks-teks hukum, perbuatan manusia, bahasa, atau kebudayaan dan peradaban asing.

Pengenalan masalah "pemahaman" sebagai sebuah ranah, subjek, dan batasan pengkajian hermeneutik akan menghadapkan pada dua dilemma asasi, pertama adalah bahwa pemahaman dan persepsi itu dibahas dalam berbagai disiplin yang berbeda dan memiliki fungsi pada banyak cabang-cabang pengetahuan. Epistemologi (theory of knowledge), filsafat analisis, dan filsafat klasik (metafisika) adalah bidang-bidang ilmu yang juga mengkaji masalah-masalah pemahaman dan persepsi ini dalam sudut pandang tertentu. Dengan demikian, pertama-tama harus diketahui dengan jelas bahwa dari sudut pandang mana disiplin hermeneutik memandang permasalahan pemahaman dan persepsi itu yang membedakannya dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya.

Kedua, aliran-aliran berbeda yang terdapat dalam disiplin hermeneutik sendiri memiliki perspektif yang berbeda-beda terhadap persoalan pemahaman dan persepsi itu. Akan tetapi, adanya kesamaan konsepsi yang sedikit terhadap persoalan tersebut sama sekali tidak bisa dijadikan patokan terhadap subjek dan penjelas batasan pembahasan bagi hermeneutik, karena masing-masing aliran pemikiran itu mengkaji tujuan-tujuan khusus dimana tujuan khusus inilah yang lantas menyebabkan perbedaan subjek dan ranah pembahasannya. Sebagai contoh, seseorang yang memandang pemahaman itu dari sudut pandang fenomenologikal, maka dalam hermeneutiknya mustahil ia berupaya menemukan dan menegaskan suatu metode untuk memisahkan antara pemahaman yang benar dan yang keliru.

Berangkat dari proses mempertanyakan, berpikir, dan menginterpretasi, Heidegger kemudian membahas bahasa sebagai satu yang amat signifikan dalam bangunan filsafatnya. Heidegger berpendapat, bahasalah yang membuat manusia menjadi manusia. Pertanyaan tentang hakikat manusia, pertama-tama seharusnya adalah pertanyaan tentang hakikat bahasa. Sebab bahasalah yang memberi kemungkinan kepada manusia menjadi manusia. Heidegger mencoba memberikan pengertian lain kepada bahasa dan tidak hanya berkutat pada pengertian bahasa sebagai alat komunikasi saja. Bahasa merupakan artikulasi eksistensial pemahaman. Menurut Poesporodjo, dengan kesimpulan bahwa berpikir adalah tanggapan, jawaban, dan bukan manipulasi ide, Heidegger hakikatnya telah terlibat secara serius dalam pembicaraan tentang bahasa. Bahasa bukan alat, melainkan ia adalah sarana bagi pengungkapan Ada kepada manusia. Bahasa adalah rumah Ada (das Haus des Seins), dan manusia bermukim di dalam bahasa.

Bahasa kemudian juga bermakna ontologis. Antara keberadaan, kemunculan, dan bahasa, saling mengandaikan. Keberadaan menjadi mungkin ketika ada ketersingkapan. Dengan begitu, tidak akan ada keberadaan tanpa ketersingkapan, dan tidak ada ketersingkapan tanpa keberadaan; demikian pula tidak ada keberadaan tanpa bahasa, dan tidak ada bahasa tanpa keberadaan. Bersama pikiran, bahasa adalah juga ciri keberadaan manusia. Dalam bahasa, Ada mengejawantah. Oleh karenanya, interpretasi merupakan kegiatan membantu terlaksananya peristiwa bahasa, karena teks mempunyai fungsi hermeneutik sebagai tempat pengejawantahan Ada itu sendiri.

Dengan demikian, hermeneutika Heidegger telah mengubah konteks dan konsepsi lama tentang hermenutika yang berpusat pada analisa filologi interpretasi teks. Heidegger tidak berbicara pada skema subjek-objek, klaim objektivitas, melainkan melampaui itu semua dengan mengangkat hermeneutika pada tataran ontologis.

7. Apakah aktor otonom atao aktor di pengeruhi struktur

Aktor dipengaruhi oleh struktur. Beberpaa kata kunci yang dipakai oleh Heidegger untuk menemukan dan merumuskan makna ”ada” (sein, being) karena bagi heidegger dadsarnya dasar untuk menjelaskan ”ada” itu adalah sein und zeit (being and time) dua setruktur atau kategori ”ada” ini dibahas dalam adanya manusia secara fenomenoligis. Namun ”ada” itu sendiri menurut Heidegger, tidak terlepas dengan ”waktu” sein und Zeit , karena desai tidak lain adalah waktu itu sendiri. waktu merupakan masa yang terdiri dan sekarang. Masa mendatang (future) terdiri dari masa sekarang yang belum terjadi dan pada suatu ketika akan terjadi.akhirnya masa lampau dipahami sebagai masa sekarangyang dulu pernah ada, tetapi kini sudah tidak ada lagi, struktur pemahaman waktu sebagaimana ada pada pendapat umum hanya berlaku bagi beings lain(seinde) dan bukan pada desain.Desai mentrasendensi beings lain, sebab pada desain aktus pelaksanaan diri dan potensi pelaksanaan diri bertemu, it already in what it can be. dengan demikian dimensi waktu yang paling penting bagi heidegger adalah masa mendatang (future, zukunfi). Bagi Heidegger waktu itu sama real-nya dan dalam rentangan waktu itulah seseorang senantiasa berada dalam kemungkinan-kemungkinan dan potensiolitas ini menjadi alternatif bagi manusia untuk bertindak. dalam kondisi seperti itulah manusia terbentur pada kehilangan-kehilangan. sementara perasaan yang belum terealisasi itulah yang kemudian memunculkan perasaan cemas pada diri manusia, karena ia terbentur dengan ketiadaan dan keterbatasan

Kelalaian paling mendasar para filsuf selama perjalanan filsafat adalah lupa akan Ada. Rene Descartes telah menemukan cogito dan mempostulatkan cogito ergo sum, tapi ia tidak pernah mempertanyakan sum (ada) itu sendiri. Ada selalu diandaikan begitu saja, tanpa pernah dipertanyakan. Kesadaran bukanlah segala-galanya, melainkan hanya salah satu bentuk penyingkapan Ada. Bukan kesadaran yang menentukan Ada, melainkan Ada yang menentukan kesadaran. Demikianlah Heidegger memulai proyek raksasa filsafatnya, dari pertanyaan tentang Ada.

Heidegger telah memporak-porandakan bangunan filsafat modern yang selalu bertolak dari kesadaran atau subjek. Model filsafat ini, bagi Heidegger, betul-betul mereduksi bahkan menzalimi realitas (ada). Realitas tidak bisa dikungkung dalam kesadaran subjek. Untuk mengetahui realitas, maka mau tidak mau diperlukan kesabaran untuk menunggu realitas itu sendiri membuka tirai ketertutupannya.

Telah lumrah diketahui, buku Sein und Zeit karangan Martin Heidegger adalah salah satu maha karya di antara tiga maha karya dalam filsafat, setelah Politeia (Plato) dan Phänomenologie des Geistes (Hegel).

Untuk memahami bagaimana Ada menyingkapkan diri, tidak bisa tidak fenomenologi harus dimengerti dengan baik. Pendiri fenomenologi, Edmund Husserl, adalah guru dan sekaligus kawan yang paling dihormati dan disegani oleh Heidegger. Pemikiran Heidegger sangat kental dengan nuansa fenomenologis, meskipun akhirnya Heidegger mengambil jalan menikung dari prinsip fenomenologi yang dibangun Husserl. Kesadaran, menurut Husserl, selalu mengandaikan terarah kepada sesuatu di luarnya, intensionalitas. Heidegger meradikalkan prinsip intensionalitas ini dengan mengatakan, bahwa kesadaran bukan hanya sadar akan sesuatu, yaitu memiliki isi tematis tertentu, melainkan terlebih sadar sebagai sesuatu. Kita tidak sekedar sadar akan sesuatu, melainkan sesuatu itu turut membentuk kesadaran kita. Bukan kesadaran yang lebih utama daripada Ada, melainkan Ada yang lebih utama daripada kesadaran. Kesadaran adalah cara Ada menampakkan diri. Artinya, fenomenologi Husserl lebih bersifat epistemologis karena menyangkut pengetahuan tentang dunia, sementara fenomenologi Heidegger lebih sebagai ontologi karena menyangkut kenyataan itu sendiri. Heidegger menekankan, bahwa fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih fundamental ketimbang kesadaran dan pengetahuan manusia, sementara Husserl cenderung memandang fakta keberadaan sebagai sebuah datum keberadaan. Heidegger tidak memenjara realitas dalam kesadaran subjektif, melainkan pada akhirnya realitas sendiri yang menelanjangi dirinya di hadapan subjek.

Pembedaan Ontologis

Poros pemikiran Heidegger bermuara pada apa yang disebut pembedaan ontologis (ontologishe differenz), yaitu antara Sein dan Seinde, Ada dan Mengada. Di sini F. Budi Hardiman memberikan penerjemahan yang sangat bertanggung jawab. Seinde biasanya diterjemahkan sebagai “Adaan.” Seinde harus dipahami secara aktif, yaitu mengada, karena ia tidak tergeletak begitu saja, melainkan bermukim. Istilah “Being-in-the-world” bukan hanya ada di dalam dunia, melainkan bermukim, ada nuansa aktifitas di sana. Untuk memahami Ada, menurut Heidegger, kita harus memulai dari Mengada yang bisa mempertanyakan Ada. Tidak semua Mengada bisa bertanya tentang Ada. Yang bisa melakukan itu hanyalah Dasein. Dasein berarti “Ada-di-sana.” Ada-di-sana untuk menunjukkan ciri khas kemewaktuan dan keterlemparan manusia, atau faktisitas (Faktizität), kenyataan bahwa manusia telah ada di dunia, dan pertanyaan tentang muasalnya yang tidak relevan. Dasein bisa mempertanyakan Ada karena memiliki hubungan dengan Adanya, yakni terbuka terhadap penyingkapan Ada.

Dasein tidak seperti Mengada yang lain, ia selalu dalam proses menjadi Ada. Oleh karenanya, Dasein mungkin ada, tapi juga mungkin tiada. Bahkan Dasein adalah kemungkinan itu sendiri (Seinkönnen). Dasein selalu berproses mencari jati dirinya, yakni dengan memahami (verstehen) Ada sebagai eksistensi Dasein itu sendiri. Hal ini mungkin dilakukan Dasein dengan menyembul keluar dari keseharian, yang melupakan Ada, dan menyadari Adanya. Perlu ditekankan, bahwa Dasein seringkali hanya menjadi Das man yang melupakan Adanya dan hanya larut dalam keseharian. Untuk menyembul keluar dari keseharian, bukanlah dengan meninggalkan keseharian itu sendiri, sebab Dasein tidak bisa keluar dari faktisitas keberadaannya di dunia, melainkan mencandra keseharian yang banal tersebut. Pada titik inilah mistik keseharian (metafisika keseharian) memperoleh mementum penjelasannya. Menyembul dari keseharian bukan berarti lari dari keseharian, tapi menyelami hal-hal yang selama ini dianggap remeh temeh dan profan untuk diangkat menjadi hal yang lebih transenden dan ontologis.

Sampai kapan Dasein melakukan proses pencarian jati diri? Sampai mati. Ada-menuju-kematian merupakan salah satu kata kunci dari perjalanan Dasein. Dasein mencapai kesempurnaan ketika ia sudah mati. Tapi ketika ia mati, ia telah keluar dari keberadaannya di dunia, oleh karenanya ia bukan lagi Dasein. Membaca pemikiran Heidegger bagaikan menikmati seribu kulminsi dalam karya sastra.

8. Lokus realitasnya bagaimana apakah pada body atau mind?

Lokus realitasnya adalah pada mind Setelahnya, ditangan Wilhelm Dilthey, ranah hermeneutik semakin melebar mengkaji segala teks dan pemahaman terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan humaniora (human sciences). Pada akhirnya dengan perantaraan Heidegger, domain hermeneutik menjadi sangat universal yang membahas teks dan non-teks, fenomena-fenomena yang berkaitan dengan prilaku manusia, alam materi, dan metafisika." (Dikutip dari www.wisdoms4all.com)

Hermeneutik ialah suatu disiplin ilmu yang berkaitan dengan penafsiran, interpretasi, dan pemahaman teks. Permasalahan pertama yang berhubungan pemahaman adalah esensi dan hakikat pemahaman: apa pemahaman itu?. Pertanyaan kedua berhubungan dengan subjek dan ranah pemahaman: apa yang bisa dipahami?. Persoalan ketiga menitikberatkan pada proses terbentuknya suatu pemahaman atau fenomenologi pemahaman: bagaimana pemahaman itu bisa terwujud?. Namun, persoalan ketiga ini merupakan perkara yang paling urgen dan penting dalam pembahasan yang terkait dengan hermeneutik.

Setidaknya ada enam definisi tentang hermeneuitika modern yang juga menandai sejarah perkembangan hermeneutika itu sendiri.

Pertama, hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel. Pada mulanya hermeneutika memang ditujukan sebagai prinsip-prinsip dasar dalam interpretasi Bibel.

Kedua, hermeneutika sebagai metode filologis. Perkembangan rasionalisme yang kemudian lahir bersamaan dengan filologi klasik pada abad VIII memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan hermeneutika. Hermeneutika selanjutnya muncul sebagai metode kritik historis dalam teologi; baik mazhab interpretasi Bibel “gramatis,” maupun “historis.” Pada akhirnya, metode interpretasi yang diaplikasikan pada Bibel ternyata juga bisa digunakan pada buku yang lain.

Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik. Schleiemecher menandai lahirnya hermeneutika yang bukan lagi terbatas kepada idiom filologi maupun eksegesis Bibel, melainkan prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai fundasi bagi semua ragam interpretasi teks.

Keempat, hermeneutika sebagai fundasi metodologi geisteswissenschaften. Wilhelm Dilthey menjadi figur utama pada perkembangan herneutika tahap ini. Ia melihat bahwa hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat berlaku bagi geisteswissenschaften, yakni semua pemahaman yang mefokuskan pada seni, aksi, dan tulisan manusia.

Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial. Pada titik inilah hermeneutika memasuki wilayah ontologis. Hermeneutika menjadi instrumen pengejawantahan Sang Ada (Being). Melalui Dasein yang menginterpretasi, segala Yang Ada mewujudkan diri. Konsepsi Heidegger ini pada akhirnya akan dilanjutkan oleh Gadamer yang menitik beratkan pada linguistik. Ia mengatakan bahwa Sang Ada yang dapat dipahami adalah bahasa.

Keenam, hermeneutika sebagai sistem interpretasi: menemukan makna versus inkonaklasme. Titik balik kreatif dilakukan oleh Paul Ricour yang mendefinisikan hermeneutika dengan mengacu kembali pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distinktif dan sentraldalam hermeneutika. Menurut Paul Ricoeur, yang dimaksud dengan hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan lain perkataan, sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks. Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam yang tersembunyi.

9. Metodelogi yang ditawarkan dalam teori ini apa? kualitatif atau kuantitatif, atau mixing method)

Metode hermeneutik yang sebenarnya menjadi salah satu metode dalam ilmu-ilmu sosial berlawanan dengan metode explanatory yang biasanya digunakan dalam ilmu-ilmu alam. Metode explanatory mengarah pada konstruksi model-model matematis dari variabel-variabel yang terukur maupun teoretis. Model-model ini dapat ditolak atau pun diterima didasarkan pada hasil-hasil percobaan yang dilakukan. Namun demikian tidak dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu sosial (atau ilmu tentang manusia) secara eksklusif bersifat interpretatif, juga tidak dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu alam secara eksklusif bersifat explanotary. Penggunaan metode hermeneutis dalam ilmu-ilmu alam seringkali tidak disadari oleh para ilmuwan sendiri, yang boleh jadi ini disebabkan karena begitu kuatnya keinginan ilmuwan untuk bersikap objektif dan rasional. Ilmuwan pada umumnya akan merasa malu dan bersalah jika menyampaikan suatu gagasan tanpa ada bukti-bukti empiris atau pun bukti-bukti logis. Penggunaan metode hermeneutis secara sengaja, dalam sejarahnya, hanya secara berani dilakukan oleh tokoh-tokoh ilmuwan tertentu yang memiliki karisma cukup besar di bidangnya, misalnya, Einstein yang menyampaikan interpretasi tentang cahaya yang bisa melengkung (yang pada akhirnya terbukti benar).
Usaha keras untuk mencari arti (meaning) dan pemahaman (understanding) dapat dilakukan dengan berbagai cara; metode ilmiah dalam ilmu alam bukan satu-satunya cara. Ilmu alam juga tidak dapat diklaim dapat memberikan jawaban akhir, melainkan hanya berupa pendekatan pemahaman yang lebih baik akan objek-objek alam semesta sebagai fungsi dari waktu dan usaha yang telah dilakukan. Pendekatan pemahaman lama baik atau cocok untuk waktu dahulu, sedang pendekatan yang baru baik untuk waktu yang sekarang.
Kembali mengacu kepada pergeseran paradigma dalam ilmu alam sebagaimana yang disebutkan oleh Kuhn, maka dapat dikatakan bahwa terjadi diskontinuitas makna dalam ilmu alam, yaitu dari makna lama dalam paradigma lama ke magna baru dalam paradigma baru. Dalam hermeneutik, makna baru yang benar-benar berbeda tidak harus menggantikan makna lama, sebab, meskipun berbeda, mungkin keduanya valid dalam konteks historis dan budaya. Tentu saja, meskipun model formal keduanya benar-benar tidak dapat didamaikan, kita sering mendapatkan dalam ilmu alam bahwa pemahaman lama berdampingan dengan pemahaman yang baru, misalnya mekanika Newton dengan mekanika kuantum, termodinamika statistik dengan termodinamika fenomenologis.
Beberapa contoh berikut akan mencukupi untuk menunjukkan bagaimana ilmu alam menyertakan interpretasi atau hermeneutik di dalamnya. Dalam astronomi dan kosmologi, peranan hermeneutik sangat signifikan, dikarenakan dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain dalam ilmu alam, objek-objek yang dipelajari oleh astronomi tidak dapat diakses melalui eksperimen langsung dan terkontrol, dan juga sulit dimanipulasi. Dalam kosmologi kontemporer, masalah kerumitan kuantum dan berbagai parameter kosmologi seringkali menimbulkan berbagai spekulasi yang non-empiris, misalnya gagasan tentang string-theory, yaitu teori yang ingin menggabungkan mekanika kuantum dengan teori relativitas, walaupun teorinya sendiri sebenarnya sampai saat ini belum dapat disusun. Teori ini diharapkan dapat menjelaskan peristiwa apa yang terjadi sesaat setelah Big Bang (Dentuman Besar).

Metode yang di gunakan dalam teor hermeneutik ditawarkan sebagai salah satu metode penelitian dalam ilmu-ilmu kemanusiaan atau ilmu sosial metode penelitian ilmiah atau scientific method memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga dalam situasi dan kondisi tertentu para ilmuwan terpaksa menggunakan interpretasi untuk menjelaskan fenomena alam tertentu.

Menurut heidegger, pertanyaan menurut hakekat ada itu hanya bisa dijawab secara patologis dengan menggunakan metode fenomenologis. Husserl (the method of phenomenological reduction) metode ini sangat penting dalam menguji data pengelaman langsung. Dengan membuang semua konstruksi epistemonologis dan logis dengan mencari sesuatu perbedaan antara kesadaran dan dunia luar, kita akan menemukan fakta yang sesungguhnya.

Heidegger memakai metode fonomenologi Husserl dalam rangka memjawab tiga problem utamanya, yaitu Siapakah manusia itu? Apakah ada (being)yang kongkret itu?dan apakah wujud realitas tertinggi (supreme being) itu?. dari sinilah terungkap artian pandangan yang abstarak dari husserl dan yang kongkret bagi Heidegger.(Zubaidi 2007:154-156)

Metode yang digunakan dalam teori iniadalah kualitatatip karena Dengan keluasan wilayah pembahasan yang sedemikian ini dan perubahan yang sangat radikal dan mendalam dalam tujuan, fungsi, dan aplikasi hermeneutik, lantas bagaimana bisa diharapkan akan adanya kesatuan dan kemanunggalan definisi yang bersifat komprehensif dan global yang bisa memayungi seluruh upaya pemikiran dan teoritis ini. Dengan tidak mengharapkan penyajian definisi yang mendetail dan global, terdapat kemungkinan untuk memberikan gambaran luas untuk memperjelas lahan pemikiran dan ruang lingkup pengkajian hermeneutik. Sebagai contoh, Paul Ricoeur mendefinisikan hermeneutik sebagai berikut, "Hermeneutik merupakan teori tentang pemahaman dalam kaitannya dengan penafsiran teks-teks".

10. Bias / Keberpihakan artinya pakah teori ini berpihak pada nilai tertentu atau berpihak kepada kepentingan/kekuasaan tertentu?

Keperpihakan teori ini berpihak pada nilai tertentu. Bagaimana hal itu mungkin? Keberadaan manusia sebagai Dasein tidak bisa disamakan dengan benda-benda yang lain. Manusia memiliki potensi untuk mempertanyakan keberadaannya. Melalui mempertanyakan ini, manusia membuka diri terhadap realitas. Dengan mempertanyakan, manusia telah menggambarkan keberadaan ke dalam penampakan Ada itu sendiri. Proses mempertanyakan merupakan media eksistensi manusia. Namun, kebanyakan orang tenggelam dalam kelupaan akan mempertanyakan. Heidegger mengatakan: “kelumpuhan seluruh hasrat mempertanyakan telah menggerogoti kita sejak lama mempertanyakan sebagai sebuah elemen fundamental keberadaan historis telah surut dari kita.”

Proses mempertanyakan yang selanjutnya menginterpretasi tidak dalam pengertian filsafat modern yang menggunakan pengandaian subjek-objek, dimana subjek begitu dominan dan berusaha menguasai objek melalui unsur manipulatif. Ketika unsur-unsur subjektivitas begitu dominan dalam proses interpretasi, maka yang terjadi bukanlah pengungkapan realitas, melainkan pemaksaan. Realitas, sejak Descartes, selalu tertutup oleh hasrat kesadaran subjektif. Selama ini realitas hanya dipahami sejauh kesadaran subjektif memahaminya, sehingga ketertutupan das ding an sich menjadi niscaya. Apa yang dilakukan Husserl melalui metode fenomenologis juga tidak mampu mengungkap realitas, sebab kesadaran subjektif masih menjadi penentu di sana. Bagi Heidegger, realitas tidak mungkin dipaksa untuk menyingkapkan diri. Realitas, mau tidak mau, harus ditunggu agar ia menyingkapkan diri.

Proses penyingkapan realitas itu terjadi melalui pengungkapan jati diri manusia yang dimulai dari mempertanyakan. Heidegger berpegang teguh pada prinsip: “kepastian hakekat manusia tidak pernah merupakan sebuah jawaban namun sebuah persoalan; mempertanyakan persoalan ini bersifat historis dalam makna fundamental bahwa mempertanyakan inilah yang awalnya membuat sejarah; hanya dimana Ada (keberadaan) mengungkapkan dirinya dalam mempertanyakan itulah sejarah terjadi dan dengan mempertanyakan itulah keberadaan manusia; hanya dengan mempertanyakanlah keberadaan historis manusia hadir di dalam dirinya.”

Sein und zeit ini tetap mempertahankan gagasan dialok batin dari faktisitas ini dengan dasein sebagai bentuk yang keberadaannya dipertahruhkan terus menerus. Bersamaan dengan pendefinisian seperti itu, Heidegger sanggup menuliskan bahwa dasein ditakdirkan sebagai sesuatu sorge, sebuah kepedulian, dan lebih khusus lagi, kepedulian akan diri sendiri (kita nanti akan digiring Heidegger kahir kepada pemikiran kepada bahwa kepedulian itu berhubungan dengan” yang ada” itu sendiri) (selbstbekummerung). dalam hal ini, ”ontologi” dasein jelas diarahkan kepada etika; bahkan dapat dikatan dasein didalam dirinya sendiri adalah urusan dan hal-ihwal etis. kemanusian tidak dicirikan oleh penelaahan dan penggalaian yang dilakukannya terhadap dunia dari sudut yang murni teoritis intelektual atau rasional. Grondin :2008:101.


Daftar Pustaka.

Eagleton, Terry. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif . Harfiah, (Yogyakarta: Jalasutra, 2006).

Grondin, Jean. 2008. Sejarah Hermeneutik. AR-Ruzz Media: Jogjakarta.

Internet:www.google.com

Palmer, Richard E. Hermeneutika: Teori Baru mengenai Interpretasi , (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2005) .

Poespoprodjo, W. Hermeneutika, (Bandung: Pustaka Setia, 2004).

Rahardjo, Mudjia. Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur , (Malang: Universitas Islam Negeri - Malang Press, 2007).

Sumaryono, E. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsaf at, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1999).

Supriyono, J. “Mencari Identitas Kultur Keindonesiaan,” dalam Herme-neutika Pascakolonial: Soal Identitas . Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed.), (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 2004).

Sutrisno, Mudji. “Rumitnya Pencarian Diri Kultural” dalam Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas . Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor), (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 2004).

Zubaedi. 2007. Filsafat Barat. AR-Ruzz Media: Jogjakarta.